Pengertian Zihar (Menyamakan Istri dengan Ibu Kandung) dan Hukumnya

Zihar adalah perkataan suami yang menyamakan tubuh isteri dengan tubuh ibunya. Baik bagian tubuhnya atau seluruhnya. Awal mulanya zihar ini adalah kebiasaan cara kaum jahiliyah dalam menalak isterinya. Mereka menyebutkan kata-kata, “Bagiku, engkau bagaikan punggung ibuku,” saat akan menalak isterinya. Namun, ketika Islam datang dengan ajarannya yang indah, Allah Subhanahu wa Ta‘ala memerintahkan kepada suami yang men-zihar isterinya untuk membayar kafarat (denda) sehingga zhihar-nya tersebut tidak sampai menjadi thalak.

Engkau bagiku seperti punggung ibuku. Kalimat ini pernah diucapkan Aus bin Shamit, suami dari Khaulah bin Tsa’labah. Ungkapan tersebut sebagai bentuk ketidaksukaan Aus bin Shamit terhadap istrinya tersebut. Namun kemudian, Aus menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada istrinya.

Khaulah pun menyampaikan masalah ini kepada Rasulullah SAW, dan turunlah ayat 1-4 surah al-Mujadalah [58]


1. قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتي‏ تُجادِلُكَ في‏ زَوْجِها وَ تَشْتَكي‏ إِلَى اللَّهِ وَ اللَّهُ يَسْمَعُ تَحاوُرَكُما إِنَّ اللَّهَ سَميعٌ بَصيرٌ

"Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengemukakan bantahan kepada engkau dalam hal suaminya itu dan dia mengadu kepada Allah; Dan Allah mendengar soal jawab di antara kamu berdua; Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar. lagi Maha Melihat."

2. الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسائِهِمْ ما هُنَّ أُمَّهاتِهِمْ إِنْ أُمَّهاتُهُمْ إِلاَّ اللاَّئي‏ وَلَدْنَهُمْ وَ إِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَراً مِنَ الْقَوْلِ وَ زُوراً وَ إِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ 

"Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, tidaklah isteri-isterinya itu jadi ibu-ibu mereka. Tidaklah ibu-ibu mereka melainkan yang menganakkan mereka. Dan sesungguhnya mereka telah benar-benar mengucapkan kata-kata yang munkar dan dosa. Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Pemberi maaf lagi Pemberi ampun."

3. وَ الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْ نِسائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِما قالُوا فَتَحْريرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبيرٌ

"Dan orang-orang yang menzhihaar terhadap setengah dari isteri isteri mereka , kemudian mereka itu hendak menarik bagi apa yang pernah mereka ucapkan itu, maka hendaklah merdekakan seorang budak sebelum keduanya bersentuh-sentuhan. Demikianlah kamu diberi pengajaran dengan dia. Dan Allah terhadap apa-apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Tahu."

4. فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيامُ شَهْرَيْنِ مُتَتابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعامُ سِتِّينَ مِسْكيناً ذلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَ رَسُولِهِ وَ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَ لِلْكافِرينَ عَذابٌ أَليمٌ

“Maka barang siapa yang tidak mendapatnya, maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut. Maka barang siapa yang tidak kuat, maka hendaklah memberi makan enampuluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dengan Rasul-Nya. Dan itulah dia batas-batas yang ditentukan Allah. Dan bagi orang-orang yang kafir adalah azab siksaan yang pedih.”


Ayat di atas menegaskan, bahwa zihar tersebut (menuduh istri sama dengan ibunya), dilarang dalam Islam. Namun, bila suaminya menyesali perbuatannya dan bermaksud kembali kepada istrinya, maka dia wajib memerdekakan seorang budak (hamba sahaya), atau berpuasa, atau memberi makan fakir miskin. Itulah hukum Allah bagi orang-orang yang beriman.

Peristiwa yang terjadi 14 abad silam itu, hingga kini masih sering terdengar. Tentu saja, dalam konteks yang berbeda pula. Ada yang dimaksudkan sebagai ungkapan ketidaksenangannya terhadap istrinya dan dia menginginkan perceraian. Namun ada pula yang bermaksud sebagai pujian atas kecantikan istrinya, yang kecantikannya itu mirip dengan ibunya.

Misalnya, Wahai istriku, kecantikan sangat menawan. Rambutmu hitam dan panjang, bagaikan bidadari dari kahyangan. Kecantikanmu mengingatkanku pada kecantikan ibuku.

Bagaimanakah ungkapan seperti ini? Apakah ia sama dengan kasus yang dialami Khaulah bin Tsa’labah dan suaminya, yakni Aus bin Shamit, yang menyamakan istrinya dengan ibu kandungnya sehingga itu termasuk perkataan Zhihar?

Para ulama berbeda pendapat mengenai ungkapan tersebut. Ibnu Qayyim berkata; Pada masa jahiliyah, zihar dianggap sebagai talak, lalu dihapus dengan kedatangan Islam. Karenanya, hukum yang telah dihapuskan tidak boleh dilaksanakan. Aus bin Shamit pernah melakukan zhihar dengan niat talak, akan tetapi yang diberlakukan adalah zihar, dan bukan talak. Di samping itu, zhihar memiliki hukum yang jelas. Oleh sebab, itu, zihar juga tidak dijadikan sindiran talak karena hukum zhihar untuk talak telah dibatalkan oleh syariat Allah.

Namun ada ulama yang berpendapat, kasus seperti Aus bin Shamit, hukumnya telah menyebabkan jatuh talak. Karena maksudnya untuk menceraikan sang istri. Kendati tidak ada pernyataan talak atau cerai, seperti ‘Kamu aku talak. Kamu aku ceraikan. Dan ini merujuk pada hadis Rasulullah SAW yang memerintahkan Aus bin Shamit untuk membayar tebusan, yakni berpuasa, atau memerdekakan budak, atau memberi makan fakir miskin. (HR Abu Dawud). Hadis serupa juga diriwayatkan dari Aisyah.

Dalam kitab as-Sunan juga disebutkan, kisah yang dialami oleh Salamah bin Shakhr al-Bayadhi yang melakukan zihar kepada istrinya selama bulan Ramadhan. Dan sebelum Ramadhan berakhir, ia menggauli istrinya. Rasul pun memerintahkan Salamah supaya memerdekakan budak, atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan fakir miskin.

Pada intinya, ulama mazhab yang empat (Syafii, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) sepakat bahwa perbuatan zhihar adalah haram hukumnya. Karena perbuatan tersebut menyamakan istrinya dengan ibu kandungnya, maka dia haram menggauli istrinya itu, sebagaimana keharaman menggauli ibu kandung. Karena itu, dia wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memerdekakan budak, atau memberi makan 60 orang fakir miskin.

Mayoritas ulama menyatakan, bahwa kasus zihar hanya pada kasus ibu. Bila ungkapan serupa diungkapkan pada saudara perempuannya, maka hal itu tidak termasuk zhihar. Misalnya, Engkau seperti punggung saudara perempuanku.

Syekh Muhammad al-Utsaimin dalam kitabnya Shahih Fiqh an-Nisaa’ menyatakan, zhihar maknanya tidak hanya terbatas pada pengertian punggung ibu kandung, tetapi apa saja yang menyerupakan istri dengan ibu kandung.

Mazhab Hanafi, ats-Tsauri, Syafii dalam salah satu pendapatnya, dan Zaid bin Ali menyatakan, bahwa ibu mesti dikiaskan kepada semua perempuan yang menjadi muhrimnya (haram untuk dinikahi). Dalam pandangan mereka, zhihar adalah pernyataan seorang suami kepada istrinya. Dan tidak berlaku bila ungkapan itu dilakukan oleh seorang istri. Misalnya istrinya berkata; Engkau (suamiku), bagiku bagaikan punggung ibuku. Dalam kasus seperti ini tidak berlaku.

Bagaimana dengan kasus lain, misalnya memuji istrinya karena kecantikannya, atau kealimannya. Dalam kasus ini, tiga Imam Mazhab seperti Hanafi, Syafii, dan Maliki, dalam riwayat Ahmad, ungkapan tersebut tidak bisa disamakan dengan zhihar. Sebab, tujuannya adalah untuk menghormati, memuliakan dan memuji istrinya. Misalnya, seorang suami berkata; Kamu seperti saudara perempuanku atau seperti ibuku.

Sementara itu, panggilan seorang suami kepada istrinya dengan sebutan ‘Ibu’, ‘ummi’, ‘mama’ atau sejenisnya, tidak bisa disamakan dengan zhihar. Sebab, mayoritas panggilan itu digunakan untuk mengajarkan anak-anaknya memanggil orang tuanya.
LihatTutupKomentar