Hukum Menikahi Perempuan Yang Pernah Hubungan''lNTlM'' Dengan Mantan Pacarnya
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,
Yang terhormat redaksi Kabarmakkah, saya ingin bertanya tentang masalah menikahi perempuan yang pernah melakukan hubungan intim dengan mantan pacarnya ketika masih sma. Apakah ini diperbolehkan menurut ajaran Islam? Apakah lebih baik saya menunda dengan mencari perempuan yang track recordnya bagus atau tetap menikahi perempuan tersebut? Mohon pencerahan serta kiat dan sarannya? Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.
(MA, Bogor)
Jawaban
Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Saudaraku yang dirahmati Allah, semoga Allah senantiasa melimpahkan hidayah dan rahmat-Nya untuk kita semua. Sebelum masuk ke pembahasan dari pertanyaan yang Anda sampaikan, kami akan menyinggung sekilas masalah pernikahan, lebih tepatnya calon pengantin perempuan dalam hukum Islam.
Pada prinsipnya Islam tidak mengatur perempuan mana yang harus dinikahi seperti latar belakang suku, warna kulit, termasuk status gadis atau janda. Hanya saja Islam menyebut sejumlah perempuan yang haram untuk dinikahi. Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Wajiz fi Fiqhil Imamis Syafi‘i menjelaskannya sebagai berikut.
الركن الثاني المحل وهي المرأة الخلية من الموانع مثل أن تكون منكوحة الغير أو مرتدة أو معتدة أو مجوسية أو زنديقة أو كتابية بعد المبعث أو رقيقة والناكح قادر على حرة أو مملوكة الناكح بعضها أو كلها أو من المحارم أو بعد الأربعة أو تحته من لا يجمع بينهما أو مطلقة ثلاثا ولم يطأها زوج آخر أو ملاعنة أو محرمة بحج أو عمرة أو ثيبا صغيرة أو يتيمة أو زوجة رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya, “Rukun kedua nikah adalah calon istri. Ia adalah perempuan yang terlepas dari larangan-larangan (untuk dinikahi) seperti (ia bukan) (1) istri orang lain (2) murtad (3) dalam masa iddah (4) penganut Majusi (5) zindiq (6) ahli kitab setelah Nabi Muhammad SAW diutus (7) budak milik orang lain di mana calon suami mampu mengawini perempuan merdeka (8) budak milik calon suami itu sendiri baik separuh atau sepenuhnya dalam kepemilikan (9) salah satu dari mahram (10) calon istri kelima darinya (11) perempuan yang tak lain saudara (kandung, susu, atau bibi) dari istri calon suami (yang ingin poligami) di mana dilarang menghimpun dua perempuan bersaudara dalam satu perkawinan (12) istri talak tiga yang belum dinikahi (harus dijimak) laki-laki lain (13) istri yang dili’an (14) perempuan yang sedang ihram haji atau umrah (15) janda di bawah umur (16) bocah perempuan status yatim (17) salah satu istri Rasulullah SAW,” (Lihat Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Al-Wajiz fi Fiqhil Imamis Syafi‘i, Beirut, Darul Arqam, tahun 1997 M/1418 H, juz II, halaman 10).
Dari keterangan diatas, kami mencoba mengaitkan dengan status perempuan seperti yang ditanyakan. Intinya, wanita yang pernah 'main' dengan mantan pacarnya itu tidak termasuk dalam deretan perempuan yang haram untuk dinikahi. Gamblangnya, menikahi perempuan itu hukumnya tetap sah menurut Islam. Sampai di sini masalah 'Menikahi Perempuan Yang Pernah Main 'Gituan' Dengan Mantan Pacarnya' sudah kami anggap clear.
Kendati secara syariat tidak bermasalah, namun kita perlu mengingat kembali tujuan dari pernikahan itu sendiri. Tujuan pernikahan menurut Islam adalah membina perjalanan panjang rumah tangga yang bahagia sepanjang ke depan setelah akad nikah.
Kami menyarankan sebaiknya Anda mencari perempuan lain yang kita husnuzankan belum pernah main gituan di luar ikatan pernikahan baik itu gadis maupun janda.
Masalahnya, Jika kita nekat menikahi perempuan yang kita sudah tahu berdasarkan pengakuannya misalnya pernah melakukan hubungan badan dengan lelaki lain tanpa ikatan yang dibenarkan secara agama, Apakah kita tidak akan menyesal di kemudian hari?
Masalah ini harus Anda pikirkan mendalam, Jangan sampai mengambil keputusan yang bisa membuat Anda menyesal selamanya di kemudian hari, Kami khawatir ketika cekcok suami-istri di suatu saat nanti, Anda akan mengungkit masalah tersebut. Lain halnya jika Anda bisa menerima keadaan perempuan itu apa adanya per hari ini dan kemudian nanti.
Namun kita tak pernah bisa memastikan di hari kemudian nanti. Di sini letak absurditas manusia.
Di samping itu, kami khawatir kita suatu saat nanti di tengah kesepian malam atau terpisah oleh jarak untuk sementara waktu, penyesalan dan rasa was-was menyergap. Kalau sudah dihinggapi penyesalan dan was-was yang mencekam, Anda kehilangan kepercayaan terhadap istri kita. Dan itu dapat mencederai kebahagiaan rumah tangga Anda sendiri.
Kalau sudah begini, mafsadat atau kerusakan bukan hanya menimpa suami-istri tersebut, Namun juga dengan anak-anak dan keluarga besar kedua belah pihak.
Kendati demikian, keputusan terakhir tetap ada di tangan Anda. Mpikirkan baik-baik. Jangan lupa untuk melakukan shalat istikharah untuk meminta petunjuk serta ketetapan hati kepada Allah. Apapun hasilnya, bersangka baiuklah kepada Allah, Karena hanya Allah lah yang bisa memberikan pilihan terbaik untuk kita semua.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa Anda pahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu ’alaikum warahmatullah wabarakatuh.